Kamis, 31 Januari 2019

Second Best


Ini kisahku sang sepatu hiking.

Pagi ini aku termenung di rak sepatu bersama debu-debu di sekelilingku. Memperhatikan bagaimana Bity membua simpul pada si kets dengan penuh kasih sayang.

Aku iri pada si sepatu kets, yang selalu dipakai kemanapun dan kapanpun, mau senang ataupun sedih. Cantik sekali, tanpa debu sedikitpun, semua pasti menyukainya. Coba bayangkan berapa ratus kilometer yang telah si kets dan Bity lewati? Pasti Bity telah mengenalkan si kets pada semua sepatu di dunia ini.

Terkadang akupun iri pada si sendal, yang selalu menemani saat santai. Berapa langkah yang telah mereka lalui bersama ketika menyusuri kota sekadar mencari objek fotografi maupun menikmati secangkir kopi di sudut kota. Seolah-olah si sendal merupakan temannya melepas penat.

Apalah aku ini. Sepasang sepatu hiking yang dibiarkan berdebu di rak, padahal setiap hari Bity melihatku dan mengabaikanku, seolah-olah aku tak pantas terpajang di rak ini. Aku yang dipakai hanya ketika Bity bosan dengan segala dunianya, melarikan diri sesaat. Aku selalu di sini, menantikan bosannya. Ketika saat itu tiba, aku selalu menjaganya sebaik yang ku bisa, menghalau batu dan kubangan. Kala itu hanya aku, Bity, dan sepinya gunung.

Setelah Bity tersembuhkan dari bosannya, di sini lagi lah aku. Bersama debu di rak sepatu ini, menantikan kebosanan selanjutnya.

0 komentar:

Posting Komentar